Latar Belakang
Upaya untuk mewujudkan inklusi keuangan sebagai bagian dari kebijakan nasional dalam rangka mencapai pertumbuhan ekonomi yang lebih merata telah dilakukan di beberapa negara dan telah menjadi pembahasan dalam fora internasional seperti G20, APEC, OECD dan ASEAN. Selain itu, inklusi keuangan juga memiliki peran penting dalam mendukung pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan/Sustainable Development Goals (SDG’s) yang telah disepakati bersama di tingkat global.
Pada hakikatnya inklusi keuangan bertujuan untuk dapat meniadakan segala hambatan terhadap akses keuangan bagi masyarakat sehingga dapat memanfaatkan layanan jasa keuangan dengan biaya yang terjangkau. Inklusi keuangan dapat didefinisikan sebagai ketersediaan akses pada berbagai lembaga, produk dan layanan jasa keuangan sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan masyarakat dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Sama halnya dengan negara lain, inklusi keuangan telah menjadi fokus dan prioritas Pemerintah dalam mendukung pembangunan nasional Indonesia. Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020 – 2024, inklusi keuangan juga tercermin dalam 3 dari 7 agenda pembangunan nasional, yaitu: 1) Penguatan ketahanan ekonomi untuk pertumbuhan yang berkualitas 2) Pengembangan wilayah untuk mengurangi kesenjangan, dan 3) Penguatan infrastruktur untuk mendukung pembangunan ekonomi dan pelayanan dasar. Sebelumnya, dalam RPJMN 2014 – 2019 disebutkan bahwa salah satu sasaran penguatan sektor keuangan adalah meningkatnya akses masyarakat dan UMKM terhadap layanan jasa keuangan formal dalam kerangka pembangunan ekonomi yang inklusif dan berkeadilan. Hal ini diperkuat dengan diterbitkannnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 82 Tahun 2016 tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif (SNKI). Perpres tersebut menjadi pedoman dalam upaya meningkatkan akses keuangan bagi masyarakat dengan tetap memperhatikan aspek perlindungan konsumen. Dalam rangka implementasi SNKI, telah dibentuk pula Dewan Nasional Keuangan Inklusif (DNKI) yang memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dan sinkronisasi pelaksanaan SNKI dimaksud.
Salah satu visi dalam SNKI tersebut yaitu meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan formal melalui peningkatan pemahaman tentang sistem, produk, dan jasa keuangan, serta ketersediaan layanan keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar, dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan kemampuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Akses terhadap produk dan layanan jasa keuangan merupakan hak dasar bagi seluruh masyarakat dan menjadi sangat penting dalam meningkatkan taraf hidup masyarakat. Untuk itu, pembangunan perekonomian yang berpihak kepada masyarakat menengah bawah sangat diperlukan agar mereka dapat memperoleh akses terhadap produk dan jasa keuangan. Ketersediaan layanan jasa keuangan khususnya yang berskala mikro dapat membantu masyarakat ekonomi menengah bawah dalam meningkatkan kualitas hidup melalui pemanfaatan produk keuangan seperti kredit usaha berskala mikro atau tabungan untuk berinvestasi dalam bentuk aset produktif.
SNKI merupakan pedoman bagi kementerian/lembaga, pemerintah provinsi, pemerintah kabupaten/kota, dan instansi terkait lainnya dalam meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan keuangan melalui kegiatan masing-masing secara bersama dan terpadu. Implementasi SNKI untuk mencapai target keuangan inklusif yaitu persentase jumlah penduduk dewasa di atas 15 tahun yang memiliki akses layanan keuangan pada lembaga keuangan formal sebesar 75% pada tahun 2019.
Dalam Rapat Terbatas tang dilakukan tanggal 28 Januari 2020, Presiden Jokowi menyatakan bahwa tingkat inklusi keuangan Indonesia telah meningkat dari 67,8% di 2016 menjadi 76,19% di Tahun 2019. Dengan kata lain, target inklusi keuangan pada tahun 2019 telah terlampaui. Adanya tren positif peningkatan inklusi keuangan tersebut, memotivasi pemerintah untuk vmenetapkan target inklusi keuangan yang lebih tinggi, yaitu sebesar 90% pada tahun 2024.
Dalam konteks Indonesia, mengingat jumlah penduduk yang belum memiliki akses ke sektor keuangan formal relatif masih besar, maka inklusi keuangan (financial inclusion) menjadi penting dan sangat diperlukan. Hasil studi yang dilakukan oleh World Bank menyebutkan bahwa inklusi keuangan mampu mendorong pertumbuhan Pendapatan Domestik Bruto (PDB) suatu negara. Peningkatan inklusi keuangan sebesar 1% mampu mendorong pertumbuhan PDB perkapita naik sebesar 0,03%. Selanjutnya, peningkatan 20% dalam inklusi keuangan suatu negara, akan mampu menciptakan tambahan 1,7 juta pekerjaan baru.
Akses keuangan menjadi syarat penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi terutama di daerah. Akses kepada produk dan layanan jasa keuangan seperti tabungan, kredit, asuransi, dana pensiun dan fasilitas pembayaran akan sangat membantu kelompok marjinal dan berpendapatan rendah untuk meningkatkan pendapatan, mengakumulasi kekayaan, mengelola risiko, serta melakukan upaya untuk keluar dari kemiskinan. Di sisi lain, industri jasa keuangan akan menjadi jantung bagi perekonomian yang dapat berkontribusi pada kesejahteraan ekonomi dengan memobilisasi tabungan, menyediakan kredit untuk bisnis, dan akselerasi dunia usaha melalui penyediaan fasilitas seperti transfer dan pembayaran.
Dalam implementasinya, akses keuangan bagi masyarakat tidak hanya ditujukan untuk sektor keuangan formal dan bertambahnya jumlah kepemilikan rekening tabungan di bank/lembaga keuangan formal lain, namun juga harus didorong dari sisi akses untuk pembiayaan bagi masyarakat dan UMKM.
Masih rendahnya akses pembiayaan dapat dilihat di sektor UMKM. Dari data pembiayaan UMKM di Indonesia menunjukan angka yang relatif masih rendah. Dari data laporan Triwulan IV tahun 2017 OJK, diketahui bahwa porsi kredit UMKM tercatat sebesar 18,64% dari total kredit perbankan. Secara spasial, sebagian besar kredit UMKM masih terpusat di Pulau Jawa dan Sumatera, dengan total porsi kredit UMKM lima provinsi terbesar (DKI Jakarta, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Sumatera Utara) yaitu 58,46%. Sementara itu, kredit UMKM di wilayah Indonesia bagian tengah dan timur (Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Bali, Maluku, dan Papua) masih sebesar 22,49%5. Sebagaimana diketahui bahwa sektor UMKM memegang peranan penting dalam mendorong perekonomian nasional/daerah mengingat sebesar 97% tenaga kerja berada di sektor ini dan memberikan kontribusinya sebesar 60% dari Produk Domestik Bruto. Untuk itu, perluasan akses keuangan bagi UMKM dan pengusaha rintisan (start-up business) juga perlu menjadi perhatian. Upaya ini akan lebih memberdayakan UMKM dan usaha rintisan, sehingga akan berkontribusi secara signifikan terhadap penyerapan tenaga kerja, pengentasan kemiskinan, dan ujungnya akan berimbas pada pengurangan ketimpangan yang ada.
Selain itu, terdapat pula kesenjangan akses keuangan antara desa dan kota. Hal ini terlihat dari indeks literasi dan inklusi Keuangan di perdesaan yang lebih lebih rendah dibandingkan dengan indeks di kota. Indeks literasi keuangan di desa hanya sebesar 23,9%, lebih rendah hampir 10% dibandingkan indeks di kota yang berada di angka 33,2%. Tingkat inklusi keuangan di desa juga lebih rendah, yaitu hanya sebesar 63,2% dibandingkan dengan tingkat inklusi di kota sebesar 71,2%.
Berkenaan dengan hal tersebut di atas dan dalam konteks upaya percepatan akses keuangan di daerah, diperlukan adanya koordinasi dan sinergi antara Pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah dengan instansi dan stakeholders lain yang terkait. Oleh karena itu, dibentuklah Tim Percepatan Akses Keuangan Daerah (TPAKD) sebagai forum koordinasi antar instansi dan stakeholders lain yang terkait untuk meningkatkan percepatan akses keuangan di daerah dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta mewujudkan masyarakat yang lebih sejahtera.